Wednesday, June 20, 2007

Matahari Berganti Kulit Seperti Ular

Para astronom telah menemukan beberapa fakta penting guna memahami siklus aktivitas matahari yang berlangsung tiap 11 tahun. Disebutkan bahwa fenomena timbulnya titik-titik matahari (sunspots) dan kobaran lidah api di permukaan sang surya mengikuti siklus tersebut, namun semburan gas panas tidak.

Menurut para ilmuwan di atas, lontaran gas terjadi setelah titik-titik Matahari mencapai puncaknya. Terakhir kali, gas-gas itu muncul pada tahun 2002, dua tahun setelah hadirnya sunspot. Gas-gas tersebut membawa pergi "kulit" magnetik Matahari yang lama, dan memungkinkan "kulit" baru muncul untuk memulai siklus baru.

Rotasi dan konveksi

Siklus aktivitas matahari selama 11 tahun --yang dikenal dengan hadir dan perginya sunspot-- telah diamati sejak tahun 1843, ketika Heinrich Schwabe, seorang astronom Jerman, menemukan pola tersebut. Bertahun-tahun kemudian aktivitas tersebut dikenali sebagai peristiwa magnetis oleh George Ellery Hale, seorang astronom Amerika. Pada tahun 1908 Hale melihat bahwa sunspot sangat bersifat magnetis. Sejak saat itulah banyak teori dimunculkan, dan masing-masing berusaha menjelaskan ritme yang terjadi pada matahari. Salah satu teori yang banyak diterima adalah yang menyebutkan bahwa siklus sunspot itu terjadi sebagai akibat rotasi (perputaran) dan konveksi di dalam Matahari.

Kenyataan bahwa lapisan terluar Matahari itu bergejolak dan bahwa Matahari berputar lebih cepat di ekuator daripada di kutub-kutubnya, dan lebih cepat di bagian dalam daripada di lapisan luar, mengakibatkan terbentuknya semacam dinamo raksasa yang makin lama makin makin tegang. Dalam tahap tertentu perputaran magnetik itu --diperkirakan tiap 11 tahun-- bagian dalam dan bagian permukaan Matahari kemudian terpisah, dan kulit magnetik luarnya seakan terkelupas untuk digantikan lapisan baru.

Seperti ular

Selama delapan tahun mengalami semburan gas Matahari (atau disebut Coronal Mass Ejections --CME) satelit milik Solar Heliospheric Observatory (SOHO), memperlihatkan bahwa gas tersebut melepaskan medan magnet lama matahari sedikit demi sedikit, mulai dari kutub pertama, ke ekuator, lalu ke kutub satunya lagi.

"Perisitwa ini seperti seekor ular yang berganti kulit," ujar Nat Gopalswamy, dari Goddard Space Flight Center NASA, yang melaporkan hal ini dalam journal Astrophysical terbaru. "Dalam kasus ini, kulit yang dimaksud adalah medan magnet lama."

Proses pergantian tersebut, dikatakan Gopalswamy, memakan waktu lama dan cukup dahsyat. "Lebih dari seribu coronal mass ejections, masing-masing membawa milyaran ton gas dari bagian kutub, diperlukan untuk membersihkan medan magnet itu. Semburan-semburan itulah yang akhirnya menimbulkan badai Matahari di tata surya."

Mengenai hal itu, Joseph Gurman, seorang peneliti NASA di SOHO menyatakan bahwa hal ini merupakan langkah maju untuk mempelajari cuaca angkasa luar. "Dengan mengidentifikasi siklus peristiwa ini, kita dapat meramalkan cuaca di ruang angkasa yang mempengaruhi Bumi," ujarnya. W(sumber BBC.com)

No comments: