Friday, June 22, 2007

GERBONG TERAKHIR

Indra H


Tut... tut... tut....
Raungan cerobong kereta tua disertai kepulan asap hitam membumbung tinggi seolah-olah menyertai keheninganku di tengah-tengah keramaian yang membalut perjalanan, yang memayungi kepenatan, yang mengusir kesunyian, dan yang pasti akan menuntunku ke sebuah tempat dimana kenangan banyak bersemayam disana.
Kota tua, kumuh, padat dengan berjubel ratusan orang yang berebut tempat untuk sekedar bersandar mencari seberkas sinar diantara gemerlap cahaya yang menyilaukan bahkan tidak segan-segan membutakan mata segelintir nyawa yang hatinya selalu dihinggapi kelalaian akan cahaya yang sesungguhnya.
Seperti telah sampai di ujung, keturutsertaanku untuk menjadi bagian dari mereka kini berakhir sudah. Setumpuk beban yang senantiasa bercokol di pundakku kini telah aku rebahkan. Harapan besar yang empat tahun silam begitu aku dambakan, kini segalanya telah aku raih dengan hitam di atas putih yang baru saja kuterima belum genap sebulan lamanya. Ribuan orang yang mengharapkan embel-embel gelar di belakang namanya, kini telah aku luluskan dan seperti muncul ke permukaan, aku hadir diantara mereka, turut serta meramaikan bursa lowongan kerja yang sudah barang tentu menjadi momok yang tak pernah lalai mengikuti dan memberatkan langkahku yang telah terseret-seret ini. Entah kenapa aku belum pernah merasa sekhawatir ini, bagiku keluar dari bangku kuliah seperti masuk dan duduk di bangku yang penuh dengan segudang masalah.
***
Dengan jaket lusuh yang selalu mengiringi kepergianku dan tas kumal yang senantiasa menyimpan segala keluh kesahku, kuyakinkan bahwa hari ini adalah hari di mana untuk kali terakhirnya aku berada di kota ini. Kota yang keindahannya telah usang terkikis deru derap langkah jaman yang hadir bertubi-tubi tanpa kendali.
Kutenteng ribuan kata sebagai oleh-oleh buat segenap kerinduan yang telah siap meluap menyerbuku. Menjelang fajar yang hadir menyibak sinar kegelapan, aku bangkit. Entah mengapa langkah kakiku terasa amat ringan seolah-olah aku berjalan tanpa menyentuh tanah sedikitpun. Di depanku telah terpampang rangkaian gerbong kereta yang tampak jelas catnya mengelupas di sana-sini menghiasi sekujur tubuhnya yang selalu mengiba belas kasih dari kehadiran manusia yang silih berganti hinggap memenuhi seisi perutnya.
Pengap, sesak, kusut campur aduk mewarnai rangkaian gerbong yang telah nyaris lenyap termakan usia. Segera kududuk di dekat jendela, kurebahkan kecemasan, kusingsingkan segala kerinduan yang telah lama turut serta bersamaku. Genap enam gerbong terjalin erat bergerak beriringan dan sebagai pamungkas, gerbong yang kutumpangi mengekor menutup jalinan dengan kebisingan yang amat sangat. Jutaan kata dari keasingan telah menyumpal telingaku, menulikan kepekaan yang selama ini selalu aku usung sebagai senjata ampuh untuk peduli terhadap sesama.
Namun tiba-tiba saja pandanganku terlontar mengarah kepada salah seorang yang turut singgah pula di kereta ini.

Tampak seorang tua dengan pakaian yang tanpa kuduga justru lebih lusuh dari yang kukenakan. Wajahnya yang teduh penuh kesejukan telah memayungiku keluar dari nuansa kecemasan yang sejak tadi telah menghisap sari-sari ketenangan. Tanpa pikir panjang aku bangkit dari cengkeraman bangku yang telah lama mengikatku. Kupersilakan nenek tua itu menggantikan posisiku. Dengan senyum simpul dan sebuah kata singkat yang selama ini selalu aku agungkan -terima kasih- mencuat dari bibir tipisnya. Kemudian dia beralih merebahkan keletihan yang terpancar kuat dari sekujur tubuhnya. Kutatap wajah kesederhanaannya yang kaya akan aroma sahaja yang begitu akrab bersanding dengannya. Sepertinya terbentang jarak yang sebenarnya tidak terlampau jauh bahkan terkesan begitu dekat antara diriku dengan dirinya, meskipun wajah asingnya bagiku tetap menjadi jurang dalam yang membelenggu keakraban sesaat yang menyimpan banyak tanda tanya.
***
Tiga jam berdiri, telah menghunusku dengan kecapaian yang menusuk-nusuk tulang kakiku. Segera aku susuri gerbong demi gerbong mencari celah untuk sekedar menambatkan rasa letih yang telah lama tertanam memenuhi raga ini. Alunan musik gaduh kereta terus saja menderu. Iramanya yang aneh, kini senantiasa menghiasi suasana bising yang telah lama mendahuluinya.

Dari kejauhan muncul kondektur paruh baya yang telah begitu fasih melubangi karcis dari gengaman penumpang. Sesekali dia melirik tajam tingkah laku para penumpang yang kadang mengusik matanya yang kutaksir telah menatap dunia ini tidak kurang dari setengah abad lamanya. Entah kenapa ia begitu menikmati pekerjaannya itu, padahal berada di kereta ini untuk sejenak saja telah membuatku tersiksa, sedangkan baginya kereta ini tidak lain adalah tempatnya untuk menambatkan hidupnya. Aneh.... Sungguhkah ia menikmati pekerjaanya itu? Atau dia telah menyerah kepada keadaan...?

***

Tanpa aba-aba, rangkaian gerbong yang telah lama menerobos kesunyian dengan kegaduhan kini semakin lama semakin larut dalam keheningan dan berhenti di tengah padang hijau yang bagai permadani menyelimuti permukaan dunia.
Banyak diantara penumpang yang terlontar dari mulut mereka keluhan-keluhan memuakkan menyibak hawa panas yang menyengat membalut seisi gerbong.
Ada apa sih Pak, kok tiba-tiba keretanya berhenti? tanya salah seorang penumpang dengan aroma ketus yang begitu kental.
Kapan sampainya kalau berhenti begini! timpal mereka yang lain.

�Buruan dong Pak, keburu gerah nih! desak mereka dengan pertanyaan bertubi-tubi menghujani kondektur yang wajah keriputnya perlahan-lahan terlihat mulai memucat.
Segera ia susuri gerbong, mencari sebab-musabab yang menghentikan laju kereta sambil berteriak-teriak memanggil rekannya yang lain. Tak sampai lima belas menit ia kembali hadir di tengah-tengah penumpang dengan peluh bercucuran mengairi wajahnya.
�Maaf, kebetulan di gerbong belakang ada salah satu penumpang yang meninggal mendadak, jadi terpaksa kereta harus berhenti untuk membawanya segera ke Rumah Sakitï

Innalillahi wa Innaillaihi Rojiïun, sahutku pelan menanggapi perkataan kondektur itu.
Apakah ini sebuah resiko yang harus ditanggung penumpang...? Kematian yang tidak terduga akan selalu membayangi mereka dan tidak segan-segan untuk menerkamnya suatu saat. Ketidaknyamanan dan ketidakamanan menjadi pengikut setia bagi mereka yang memilih memanfaatkan fasilitas dengan uang tidak seberapa. Tapi bukankah sangat tidak adil jika nyawa harus dihargai dengan harta...?
***
Tepat pukul tiga sore aku turun dari kereta dengan kenangan kematian seorang penumpang masih saja terngiang di pikiranku. Segera kuhapus hal menyeramkan itu dari pikiranku. Bagiku, mengingatnya seperti kembali makan duri tajam yang sewaktu waktu menggores dan meninggalkan luka yang begitu dalam.

Bergegas kusuri jalan yang empat tahun silam terasa begitu akrab, namun kini sangat angkuh menyapa kedatanganku. Tanpa basa-basi aku menghampiri sebuah bus kota yang harapanku akan mengantar diriku kembali ke suatu tempat indah yang begitu kudambakan dan tentu saja inginku iringan kejadian naas di kereta tadi tidak ikut bersamaku di bus kota ini.

Segera kusibak jendela bus lebar-lebar, mencoba mencari kenangan yang mungkin saja masih terselip diantara gerombolan pepohonan dan hembusan angin pedesaan.
Keasriannya tidak lekang oleh hempasan modernisasi, itulah yang sekarang ini aku rasakan dan semoga saja harapanku ini akan senantisa terkabul.

Tampak hadir dari kejauhan sebuah desa kecil menghadangku, memelukku dengan penuh kehangatan. Melalui hembusan angin, suara gesekan dedaunan, dan kicauan burungnya yang telah menjabat tanganku dengan ramah. Nuansa kepenatan yang senantisa menggandeng langkahku tak kutemukan disini. Begitu indah, begitu damai, begitu tenteram. Itulah yang selalu kurasakan ketika kembali berada di kampung halaman.

Tak terasa tibalah aku di halaman rumah sederhana yang selalu kuimpikan penantiannya. Rumah yang memberiku keindahan kehidupan melalui kesahajaan yang senantiasa terpancar di dalamnya.
Namun pemandangan tak biasa telah menyergapku. Sekawanan orang berkerumun di rumahku. Tampak raut wajah mereka yang muram, pucat, dan bahkan beberapa diantaranya tampak terisak menahan air mata. Segera kupercepat langkahku menghampiri mereka.

Dengan berusaha keras untuk menunjukkan deretan giginya mereka menyambutku. Kuhampiri segera pamanku yang kebetulan ada tidak jauh dari tempatku berdiri.
�Ada apa Paman, ada apa ini?� tanyaku tanpa pikir panjang karena rasa penasaran yang telah menggebu-gebu menerpaku.

Kamu masih ingat dengan Mbok Iyem? Pengasuhmu dulu sampai kau berumur lima tahun?ïbalas pamanku justru dengan pertanyaan yang sedikit banyak membuat dahiku berkerut.
O... iya, kenapa dengan Mbok Iyem Paman? kembali aku balas pertanyaan paman dengan pertanyaan pula walaupun pada dasarnya aku sendiripun masih ragu-ragu mengutarakannya.
Baru saja Mbok Iyem meninggal dunia karena serangan jantung sewaktu dia mau kembali dari luar kota, jawab pamanku dengan tertunduk lemas sambil menghela nafas panjang berusaha menabahkan hatinya yang dihimpit kesedihan yang mendalam.

Innalillahi wa Innaillaihi Rojiun,desahku mengiringi jawaban paman.

Samar-samar aku menerawang berusaha mengingat sosok mbok Iyem yang dulu mengasuhku dengan segenap jiwanya, berusaha membesarkan ragaku tanpa pamrih sedikitpun. Beliau pulalah yang selalu memupuk hatiku dengan keimanan yang tiada ternilai harganya. Sungguh kasih sayang yang tiada terkira hingga bingung bagaimana aku harus membalasnya dan kini justru ajalnyalah yang menyambutku.

Segera dengan tergopoh-gopoh aku masuk ke dalam untuk sekedar menatap wajahnya untuk kali terakhir. Entah seperti apa wajahnya kini, seonggok kegiatan dunia telah membuyarkan ingatanku tentang kesederhanaannya yang bagiku justru merupakan hal termewah yang pernah aku alami. Kini hanya doa yang bisa aku usung untuknya selain ucapan terima kasih yang tak henti-hentinya mengalir dari mulutku ini.

Ya Allah..., ratapku ketika kusibak tirai penutup wajahnya yang putih bersih. Tak kusangka nuansa kesejukan yang memayungiku ketika berada di dalam kereta dengan disertai senyum simpul itu ternyata ada pada sosok mbok Iyem yang kini terbujur kaku tepat dihadapanku. Nenek tua yang menggantikan posisiku untuk sekedar merebahkan keletihannya di gerbong terakhir kini benar-benar membuatku letih karena kepergiannya. Yang kutakutkan ternyata kini harus aku alami.

Untuk kesekian kalinya terpaksa aku harus berkenan menelan duri tajam yang siap melukai hatiku. Hanya ketabahan yang bisa menjadi penawarnya. Perjumpaan yang begitu singkat telah mengantarkanku pada perpisahan yang panjang. Aroma kebisingan yang tertuang dalam gerbong terakhir menjadi saksi bisu yang menuntunnya ke jalan yang tiada mengenal ujung. Langkah kaki yang memaksaku singgah di gerbong terakhir jelas senantiasa melekat dalam pikiranku dan tak pernah akan terkelupas sedikitpun.

Gerbong terakhir... ya... di gerbong terakhir itu benar-benar nyata terakhir kalinya aku bertemu sesosok manusia yang begitu berjasa dalam hidupku. Gerbong terakhir.... ya.... di gerbong terakhir itu yang menyimpan peristiwa memilukan. Peristiwa yang sama sekali belum pernah terbayang olehku.
Selamat jalan mbok Iyem, semoga surga terindah akan menjadi tempat bersemyamnya dirimu. Berbahagialah atas budi baik yang telah engkau semaikan.

Terima kasih dan sekali lagi terima kasih, gerutuku berkali-kali seraya kembali menutup kain putih yang menghiasi wajah heningnya dengan diiringi derai air mata yang tak terelakkan lagi mengalir deras.

Gerbong terakhir.... ya... di gerbong terakhir itu yang benar-benar menjadi akhir...Ω

No comments: